Minggu, 04 Desember 2011

bla .. bla .. bla ..

Kualitas tulisan tidak ditentukan oleh media yang memuat. Saya tidak setuju kalau ukuran kualitas karya ketika dipublikasikan media cetak (koran, majalah, tabloid, dll). Kendati karya kita dipublikasikan di media online, tentunya secara kualitas boleh diadu dengan artikel-artikel koran, majalah, dan tabloid.
Saya tidak setuju ketika ada seorang kompasianer yang mengatakan bahwa tulisan-tulisan di Kompasiana terkategori sampah. Saya juga tidak setuju kalau pola pikir konvensional menentukan kualitas adalah koran dan media online. Kalau tulisan kita dipublikasikan di koran, disebut berkualitas. Sedangkan di media online tidak berkualitas; saya sangat tidak setuju. Apalagi kalau ukurannya ada proses seleksi. Perlu Anda ketahui, bahwa media cetak banyak memuat tulisan-tulisan pesanan. Artinya, memuat pemikiran yang kita juga bisa tanpa ada jalur seleksi. Setiap naskah yang masuk, kalau si penulis sudah memiliki kedekatan dengan redaktur, tulisan sehancur apa pun, akan dimuat.
Anda tidak percaya?
Coba tanyakan pada praktisi media. Mereka menggunakan jasa copy editor, atau editor senior untuk mengedit tulisan penulis tersebut. Karena apa mereka melakukannya? Karena dekat. Karena mereka merasa si penulis itu memiliki nama besar. Jadi, ketika ada tulisan yang tidak sesuai dengan visi-misi keredaksian, mereka edit untuk disesuaikan.
Kalau bertanya kualitas: tentu saja posisinya sama dengan blogger, kompasianer, atau penulis di media online yang mempublikasikan tulisan tanpa melalui tahap editing redaksi. Penulis yang dimuat di koran belum tentu tulisannya berkualitas. Boleh jadi, tulisannya acak-acakan sebelum dipublikasikan di koran. Akan tetapi karena memiliki kedekatan, tulisan tersebut diedit, diperbaharui, dan dipublikasikan deh.
Saya lebih menghargai konten tulisan yang diberikan oleh kompasianer dan blogger. Lihat dan baca, secara substansial tulisan mereka sangat berkualitas. Untuk yang tidak copy paste ide orang lain, saya sangat apresiatif sekali. Hanya dalam hitungan menit, dirinya mampu menumpahkan ide sehingga dengan cepat dapat dipublikasikan. Kalau para penulis di media cetak, kadang membutuhkan waktu 2 minggu untuk kepastian dimuat atau tidaknya artikel kita.
Ketika artikel itu dikembalikan. Bukan berarti tidak berkualitas. Sangat sangat tidak tepat kalau postingan kompasianer dibilang tidak berkualitas. Apalagi kalau ada yang bilang: tulisan-tulisan sampah. Orang yang berpikir seperti ini: lebih tepat dikategorikan sebagai penulis ketinggalan zaman dan mementingkan materi. Padahal, sebuah karya tidak melulu harus mendatangkan materi. Lihat saja Imam Al-Ghazali yang tulisan-tulisannya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Beliau kini tidak menikmati materi dari hasil royalti. Tetapi beliau saya pikir, sedang berasyik-ma’syuk di sisi-Nya.
Perbedaan penulis Koranan – sebutan bagi yang menulis untuk koran – dan penulis media online gratisan; seperti intelektual Qarun dan intelektual Nasrudinan. Penulis pertama, karya baru dibilang berkualitas kalau banyak dibeli orang dan dirinya mendapatkan popularitas serta keuntungan material. Sementara itu, penulis yang kedua: ia tidak peduli pada sesuatu yang tak abadi ketika berkarya. Seperti halnya kompasianer, yang dengan rela hati berbagi informasi kepada kita tentang apa saja, tanpa dipungut biaya. Mereka dengan sukarela berbagi di sini, kendati tanpa disadari dirinya tengah dieksploitasi pemilik modal. Coba bayangkan, kendati tubuh memiliki hak untuk beristirahat pada malam hari, mereka rela lupa makan untuk memposting di situs ini. Kalau ada yang bilang tulisan-tulisan kompasianer adalah sampah. Saya akan membela kompasianer dan bertanya kembali, bukankah sampah banyak manfaatnya buat kehidupan ini?
Anda memakan buah apel merah, buah mangga, dan nasi atau makanan lain; itu tumbuh akibat sesampahan yang dijadikan pupuk organik. Bolehlah dibilang kalau tulisan-tulisan di Kompasiana, yang ditulis asli tanpa copy paste dari ide lain, disebut sebagai tulisan sampah organik. Hahaha
NB: Kini saya tidak bangga ketika tulisan atau karya saya dipublikasikan media cetak. Karena siapa tahu, redaktur kasihan pada saya, atau tidak ada lagi artikel yang bertema seperti yang saya tulis. Dikarenakan tema tersebut aktual, maka dengan berat hati, artikel saya itu diedit dan dipublikasikan secara terpaksa. Satu lagi, tulisan saya di koran Pikiran Rakyat, ditemukan dalam sebuah plastik hanya dijadikan pembungkus panganan kecil; bala-bala, goreng pisang, dan paling banter dijadikan alas tidur oleh para tunawisma. Jadi, apa yang harus dibanggakan bila tulisan kita dipublikasikan di media cetak. Tak ada kawan! Kalau tulisan Anda ingin mampang di media cetak, tinggal bikin media sendiri. Beres deh…perlihatkan pada orang lain bukti cetakannya. Dan, kita pun akan dibilang penulis berkualitas….wakakakakakak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar