Kualitas tulisan tidak
ditentukan oleh media yang memuat. Saya tidak setuju kalau ukuran
kualitas karya ketika dipublikasikan media cetak (koran, majalah,
tabloid, dll). Kendati karya kita dipublikasikan di media online,
tentunya secara kualitas boleh diadu dengan artikel-artikel koran,
majalah, dan tabloid.
Saya tidak setuju
ketika ada seorang kompasianer yang mengatakan bahwa tulisan-tulisan di
Kompasiana terkategori sampah. Saya juga tidak setuju kalau pola pikir
konvensional menentukan kualitas adalah koran dan media online. Kalau
tulisan kita dipublikasikan di koran, disebut berkualitas. Sedangkan di
media online tidak berkualitas; saya sangat tidak setuju. Apalagi kalau
ukurannya ada proses seleksi. Perlu Anda ketahui, bahwa media cetak
banyak memuat tulisan-tulisan pesanan. Artinya, memuat pemikiran yang
kita juga bisa tanpa ada jalur seleksi. Setiap naskah yang masuk, kalau
si penulis sudah memiliki kedekatan dengan redaktur, tulisan sehancur
apa pun, akan dimuat.
Anda tidak percaya?
Coba tanyakan pada
praktisi media. Mereka menggunakan jasa copy editor, atau editor senior
untuk mengedit tulisan penulis tersebut. Karena apa mereka melakukannya?
Karena dekat. Karena mereka merasa si penulis itu memiliki nama besar.
Jadi, ketika ada tulisan yang tidak sesuai dengan visi-misi keredaksian,
mereka edit untuk disesuaikan.
Kalau bertanya
kualitas: tentu saja posisinya sama dengan blogger, kompasianer, atau
penulis di media online yang mempublikasikan tulisan tanpa melalui tahap
editing redaksi. Penulis yang dimuat di koran belum tentu tulisannya
berkualitas. Boleh jadi, tulisannya acak-acakan sebelum dipublikasikan
di koran. Akan tetapi karena memiliki kedekatan, tulisan tersebut
diedit, diperbaharui, dan dipublikasikan deh.
Saya lebih menghargai
konten tulisan yang diberikan oleh kompasianer dan blogger. Lihat dan
baca, secara substansial tulisan mereka sangat berkualitas. Untuk yang
tidak copy paste ide orang lain, saya sangat apresiatif sekali. Hanya
dalam hitungan menit, dirinya mampu menumpahkan ide sehingga dengan
cepat dapat dipublikasikan. Kalau para penulis di media cetak, kadang
membutuhkan waktu 2 minggu untuk kepastian dimuat atau tidaknya artikel
kita.
Ketika artikel itu
dikembalikan. Bukan berarti tidak berkualitas. Sangat sangat tidak tepat
kalau postingan kompasianer dibilang tidak berkualitas. Apalagi kalau
ada yang bilang: tulisan-tulisan sampah. Orang yang berpikir seperti
ini: lebih tepat dikategorikan sebagai penulis ketinggalan zaman dan
mementingkan materi. Padahal, sebuah karya tidak melulu harus
mendatangkan materi. Lihat saja Imam Al-Ghazali yang tulisan-tulisannya
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Beliau kini tidak
menikmati materi dari hasil royalti. Tetapi beliau saya pikir, sedang
berasyik-ma’syuk di sisi-Nya.
Perbedaan penulis
Koranan – sebutan bagi yang menulis untuk koran – dan penulis media
online gratisan; seperti intelektual Qarun dan intelektual Nasrudinan.
Penulis pertama, karya baru dibilang berkualitas kalau banyak dibeli
orang dan dirinya mendapatkan popularitas serta keuntungan material.
Sementara itu, penulis yang kedua: ia tidak peduli pada sesuatu yang tak
abadi ketika berkarya. Seperti halnya kompasianer, yang dengan rela
hati berbagi informasi kepada kita tentang apa saja, tanpa dipungut
biaya. Mereka dengan sukarela berbagi di sini, kendati tanpa disadari
dirinya tengah dieksploitasi pemilik modal. Coba bayangkan, kendati
tubuh memiliki hak untuk beristirahat pada malam hari, mereka rela lupa
makan untuk memposting di situs ini. Kalau ada yang bilang
tulisan-tulisan kompasianer adalah sampah. Saya akan membela kompasianer
dan bertanya kembali, bukankah sampah banyak manfaatnya buat kehidupan
ini?
Anda memakan buah apel
merah, buah mangga, dan nasi atau makanan lain; itu tumbuh akibat
sesampahan yang dijadikan pupuk organik. Bolehlah dibilang kalau
tulisan-tulisan di Kompasiana, yang ditulis asli tanpa copy paste dari
ide lain, disebut sebagai tulisan sampah organik. Hahaha
NB: Kini saya tidak
bangga ketika tulisan atau karya saya dipublikasikan media cetak. Karena
siapa tahu, redaktur kasihan pada saya, atau tidak ada lagi artikel
yang bertema seperti yang saya tulis. Dikarenakan tema tersebut aktual,
maka dengan berat hati, artikel saya itu diedit dan dipublikasikan
secara terpaksa. Satu lagi, tulisan saya di koran Pikiran Rakyat,
ditemukan dalam sebuah plastik hanya dijadikan pembungkus panganan
kecil; bala-bala, goreng pisang, dan paling banter dijadikan alas tidur
oleh para tunawisma. Jadi, apa yang harus dibanggakan bila tulisan kita
dipublikasikan di media cetak. Tak ada kawan! Kalau tulisan Anda ingin
mampang di media cetak, tinggal bikin media sendiri. Beres
deh…perlihatkan pada orang lain bukti cetakannya. Dan, kita pun akan
dibilang penulis berkualitas….wakakakakakak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar