Menunggu dan
Kecewa
Oleh GEDE PRAMA
ADA
perbedaan mencolok antara kumpulan manusia menunggu di sini
dibandingkan di
negara-negara seperti Jepang, Inggris dan Prancis. Disini
orang menunggu
sebagian besar de-ngan mata agak kosong, tanpa kegiatan
apa-apa kecuali duduk
atau mondar-mandir. Sedangkan di Inggris sebagai
contoh, apa lagi di Jepang,
orang menunggu sebagian sambil membaca.
Ada semacam
ketekunan mengagumkan. Sehingga ketika yang ditunggu datang
(entah itu kereta
atau pesawat), waktu seperti sangat bersahabat.
Ia berlalu lengkap dengan
rangkaian makna yang memang dicari.
Hanya saja di manapun negaranya, siapapun
orangnya, berapapun umurnya,
setinggi apapun status sosialnya, sebagian lebih
manusia- manusia di abad
ini memiliki pekerjaan panjang melelahkan yang tidak
mengenal henti dalam
hidup: menunggu!
Ada yang
menunggu jatuhnya sebuah rezim.
Ada yang menunggu
giliran naik ke tampuk kekuasaan.
Ada yang menunggu
bersihnya negeri dari korupsi.
Ada yang menunggu
anak-anak selesai sekolah dan kemudian bekerja.
Ada
yang menunggu ujian akhir agar cepat dapat ijazah.
Ada
yang menunggu jam makan agar segera mulut
terpuaskan.
Ada yang menunggu agar cepat-cepat sampai
di rumah.
Ada yang menunggu punya rumah besar dan
megah.
Ada yang menunggu punya mobil mewah.
Pokoknya
menunggu, menunggu dan hanya menunggu.
Sehingga dalam totalitas, dari
seratus persen waktu hidup manusia mungkin
lebih dari 90 persen isinya
menunggu.
Bagi orang-orang tertentu, menunggu bahkan dibawa sampai ke
alam mimpi.
Bayangkan, kerap mereka bermimpi menunggu, atau bermimpi sudah
sampai.
Berbeda dengan menunggu kereta atau pesawat misalnya, kecewa
datang dalam
frekuensi yang lebih jarang.
Bila yang ditunggu sepuluh
jadwal kereta, mungkin kurang dari setengahnya
saja yang berujung
kecewa.
Namun mereka yang hanya mengenal menunggu dalam hidup, hampir
selalu
berujung kecewa.
Lihat saja kumpulan manusia yang disebut
rakyat. Ketika sebuah rezim
dianggap tidak adil, ia menunggu datang rezim
berikutnya.
Tatkala rezim berikutnya datang ia membawa bendera
kekecewaan.
Mereka yang rindu kursi kekuasaan juga
serupa.
Ada saat giliran itu datang, dan ketika datang
yang tersisa hanya rasa
serakah yang hambar.
Demikian juga dengan
orang tua yang menunggu anak-anaknya.
Ketika selesai wisuda dan bekerja,
anak2 sibuk dengan kehidupannya sendiri.
Orang tuanya menganggap mereka
lupa, dan ujung-ujungnya juga kecewa.
Mereka yang menunggu rumah megah dan
mobil mewah juga serupa.
Empuknya suspensi mobil baru hanya terasa
sebulan.
Segarnya udara rumah megah paling lama terasa tiga
bulan.
Berikutnya, diganti dengan rangkaian hal yang serba biasa dan
hambar.
Seorang sahabat di dunia kejernihan pernah bertutur: as soon as
the
desired objects are obtained, the happiness ends and new desires
arise.
Begitu sesuatu yang diinginkan diperoleh, kebahagiaannya berakhir
dan
keinginan baru muncul. Dengan kata lain, setiap garis finish
pencaharian
menjadi garis start baru untuk pelarian berikutnya yang lebih
berat.
Bisa dimaklumi kalau kemudian kehidupan berwajah berat, keras,
lelah,
stress dan sejenisnya.
Berefleksi di atas cermin-cermin
kehidupan seperti inilah, maka sejumlah
pejalan kaki di jalan-jalan
kejernihan dengan penuh keberanian
menghentikan kegiatan menunggu. Untuk
kemudian berkonsentrasi pada masa kini.
Mungkin layak diendapkan, kalau
salah satu diantara pejalan kaki ini
pernah berucap: 'satu-satunya hidup yang
rill dan hidup adalah hari ini.
Masa lalu sudah mati, masa depan belum
datang'.
Memang ada benarnya sahabat yang menyebut kalau masa depan
disiapkan sejak
hari ini. Cuma, bila begitu sampai kebahagiaannya hilang
digantikan oleh
keinginan yang baru, kesia-siaan hanya bisa dihindari kalau
berkonsentrasi
di hari ini.
Seorang penulis di jalan-jalan kejernihan
bernama Eckhart Tolle dalam The
Power of NOW, bahkan berani berspekulasi :
"authentic human power is
found by surrendering to the Now".
Tidak
saja kegiatan menunggu yang berhenti, tidak saja kecewa yang
berkurang,
bahkan kekuatan otentik manusia bisa ditemukan ketika manusia
ikhlas total
pada masa kini.
Di bagian lain Tolle menulis : it is here we find our
joy, are able to
embrace our true self. It is here we discover that we are
already
complete and perfect.
Di sini di hari ini, kita bisa
berpelukan dengan diri kita yang
sebenarnya. Di tempat yang sama juga kita
bisa merasakan betapa kita
sudah lengkap dan sempurna.
Siapapun
manusianya, ketika sudah berani melangkah yakin ke hari ini,
berpelukan
dengannya, apa lagi menemukan kesempurnaan di sana,
itulah
tanda-tanda kalau kita mulai keluar dari lingkaran menunggu dan
kecewa.
Di sebuah kesempatan, ada seorang pengemis yang duduk tidak
pernah
berpindah selama puluhan tahun. Ia mengemis di tempat itu
terus.
Seorang pejalan kaki memperhatikannya sambil bertanya : 'ápa yang
dicari
di sini terus menerus?'. Dengan tenang pengemisnya menjawab :
"Tidak
mencari apa-apa".
Heran dengan jawaban seperti itu, orang asing
tadi membuka paksa kotak
pengemis tadi. Dan ternyata di tengahnya berisi emas
dan berlian.
Cerita ini memang hanya kiasan. Orang lain memang tidak bisa
memberi
apa-apa sehingga tidak perlu diminta dan ditagih.
Dan di hari
ini di dalam sini, sebuah tempat yang sering kita lupakan dan
tinggalkan
melalui kegiatan menunggu dan kecewa, di sanalah emas dan
berliannya
berada.
Adakah sahabat yang pernah menemukan emas dan berlian di
sana?
Walahualam
bisawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar